Sabtu, 24 November 2012

Dibalik Persetujuan Gencatan Senjata Israel

Jika ditelusuri lagi ke belakang, baru kali ini Israel langsung menyetujui gencatan senjata dengan Hamas. 


Sebelumnya Israel tidak pernah mematuhi yang namanya gencatan senjata, walau diprakarsai oleh PBB atau Uni-Eropa.  

Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu selalu mengatakan tidak akan pernah berunding dengan Hamas dan Jihad Islam, yang ditudingnya sebagai teroris. Namun kali ini Netanyahu tak berkutik. Usulan gencatan senjata yang diprakarsai oleh Mesir langsung ditelan bulat-bulat. Gencatan senjata ini sekaligus menunjukkan pengakuan Israel atas Hamas. Dan hal inilah yang dikritik kaum garis keras Israel atas Benyamin Netanyahu.

Penduduk Gaza merasa heran. Biasanya Israel selalu melanggar gencatan senjata atau menunda-nunda, namun kali ini berubah 180 derajat.

Bukan itu saja, 75 ribu pasukan Israel yang disiapkan Netanyahu untuk melakukan serangan darat akhirnya ditarik. Biasanya pasukan darat digunakan Netanyahu untuk menekan Hamas di saat-saat perundingan terakhir.  Misalnya dalam  perang 22 hari tahun 2008.  Israel menyetujui gencatan senjata dengan syarat tetap menempatkan pos pos militer di Gaza.  Hal itu ditolak oleh Hamas, maka Israel  melakukan serangan darat besar-besaran. Ketika seluruh mediator gencatan senjata  berbalik memusuhi Israel, militer Israel dengan tenang selama satu pekan membombardir Jalur Gaza tanpa mendapatkan halangan.

Namun kali ini Israel menerima semua syarat gencatan senjata.

Apa yang terjadi ?.

Sistem anti roket, Iron Dome yang digembor-gemborkan Israel ternyata hanya mampu menyergap 30 % roket, yang ditembakkan Hamas dari Gaza.  Hal ini membuat masyarakat  Israel menjadi ketakutan. Untuk pertama kalinya, tidak ada lagi daerah aman yang bebas dari roket Hamas.  Semua wilayah Israel telah dijangkau oleh roket Hamas.

Selama ini Tel Aviv dan Jerusalem merupakan garis merah bagi Israel, dalam artian jika ada pihak yang menyerang wilayah itu, Israel akan membalasnya dengan sangat perih dan kasar.

Dalam perang di Libanon, Hizbullah masih mematuhi garis merah tersebut. Hizbullah hanya sempat mengancam Israel, akan menembakkan roket ke Tel Aviv, jika Israel terus menyerang ibukota Libanon,  Beirut. Israel pun mendengarkan peringatan Hizbullah , sehingga peperangan akhirnya terkonsentrasi di Libanon Selatan.

Kini  betapa terkejutnya Israel,  saat  roket-roket Hamas dengan bebas menghujam wilayah Tel Aviv.  Pada awalnya Israel berpikir, roket itu akan mudah dinetralisir melalui Iron Dome, serangan udara, howitzer dan rudal kapal laut.  Namun pertahanan Hamas ternyata berkembang dengan pesat. Roket-roket  ditembakkan dari bawah tanah dengan pelindung pintu baja buka tutup sistem hidrolik.

Mata-mata Israel juga tidak mampu mengidentifikasi dengan baik lokasi-lokasi peluncuran roket, dengan bukti hingga hari terakhir, Hamas terus menembakkan roket-roketnya. 30 diantaranya ditembakkan ke Tel Aviv dan hanya 12 roket yang  mampu disergap Iron Dome.

Serangan roket Hamas selama 8 hari ke Tel Aviv, membuat industri pariwisata di kota itu, lumpuh.  Para turis memilih pulang ke negeri mereka karena takut terkena roket.  Mall, pertokoan, kafe maupun restoran sepi dari pengunjung. Akibatnya para pengusaha di Tel Aviv menjerit dan berteriak.

Di hari ke delapan peperangan juga terjadinya serangan bom ke sebuah bus di Tel Aviv yang menyebabkan 24 warga terluka. Serangan bom ini di dekat Kementerian Pertahanan Israel.

Pemerintah Israel pun langsung menggelar rapat. Mereka hendak memutuskan apakah dilakukan serangan darat, untuk menetralisir serangan Hamas.  Namun pihak intelijen melaporkan, masih ada bom yang belum meledak di Tel Aviv dan itu berpotensi untuk terjadinya serangan bom susulan. Saksi  yang dikumpulkan Israel mengatakan, seorang perempuan melemparkan satu tas ke dalam bus tersebut lalu lari dan terjadi ledakan. Menurut saksi, perempuan itu, sedikitnya membawa 2 tas yang diduga rangkaian bom dan menghilang.

Serangan itu muncul, setelah Israel salah menentukan target pengeboman yang menyebabkan satu keluarga di Gaza tewas.

Serangan Darat ?

Kembali soal rencana serangan darat ke Gaza yang dirapatkan Kabinet dan Militer Israel di Tel Aviv. Militer Israel tidak menjamin serangan darat akan sukses, dalam artian keselamatan pasukan Israel akan terjaga di  Gaza. Militer Israel memperkirakan Hamas telah menyiapkan sejumlah skenario untuk merontokkan tank Israel dan menangkap serdadu mereka.

Alasannya adalah, Hamas terbukti mampu menembak jatuh pesawat mata-mata Israel Skylait B, satu F-16 dan Helikopter Apache.  Hamas juga menembakkan tiga roket  ke kapal perang Israel dari kamp pengungsi Nusairat. Jika Hamas sudah menguasai teknologi roket 70 Km, tentu bukan hal sulit untuk membuat ATGM berdaya jangkau 1 hingga 2 km.  Jika Iran telah mentransfer teknologi rudal fajr-5, diyakini mereka juga mentransfer teknologi roket anti-tank dan rudal jenis lainnya.

Hal ini bisa mengulang kekalahan Israel dalam serangan daratnya ke Libanon Selatan pada tahun 2006. Saat itu banyak tank Merkava Israel rontok oleh rudal Hizbullah dan tentara darat Israel.

Untuk itulah, tanpa berpikir panjang Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu, langsung menyetujui gencatan senjata.

Militer Israel melakukan pengeboman sebanyak 1600 sorti dan menewaskan 140 orang di Gaza. Itu pun sebagian adalah warga Sipil. Artinya 1 orang di Palestina tewas setelah 12 sorti serangan. Secara kalkulasi militer, Israel tidak mampu menetapkan targetnya secara tepat dan dianggap gagal.

Jika perang diteruskan Israel hanya akan membuang-buang uang ditambah lagi mahalnya biaya operasional Iron Dome.

Sementara pihak Hamas telah menembakkan 1200 roket, 400 diantaranya berhasil disergap Iron Dome. Roket itu menyebabkan 1 tentara Israel dan 4 warga sipil tewas. Serangan itu juga melukai 11 tentara dan puluhan warga sipil.

Serangan roket ke Jerusalem dan Tel Aviv merupakan pukulan telak bagi Israel yang memaksa militer rezim ini mengkaji ulang kalkulasi mereka. Ketidakmampuan sistem perisai rudal Iron Dome menghadapi roket-roket Hamas juga sangat mengejutkan Israel. Untuk itu otomatis peperangan harus dihentikan.
 
Ada hal yang mengejutkan dalam peperangan ini. Iran justru terang-terangan mengatakan mereka telah mentransfer teknologi rudal fajr-5 ke Hamas dan Hamas yang merakitnya sendiri.
 
Perancis mengecam keras dan menuduh Iran telah menyelundupkan rudal fajr-5 ke Gaza, Namun Perancis dan NATO lupa merekalah yang justru terang-terangan memasok persenjataan ke Pemberontak di Suriah, untuk menggulingkan Pemerintahan Bashar Al Assad.
 
Jatuhnya pemerintahan Presiden Bashar Al Assad sangat penting bagi Israel, untuk mendukung rencana serangan udara mereka ke sejumlah fasilitas militer dan nuklir Iran. Israel dan Sekutunya berharap dengan tergulingnya Assad, para pemberontak yang telah dibantu, akan mengizinkan pesawat pesawat Israel untuk melintasi Suriah menuju Iran, dengan asumsi pemerintahan Irak bisa dikontrol oleh Amerika Serikat
 
Untuk itu Iran yang didukung Rusia, terus membantu posisi Presiden Suriah Bashir Al Assad.  Iran sadar jika pemerintahan Suriah jatuh, maka tinggal Iran-lah yang akan “diurus” oleh Israel, Amerika dan Inggris.  

Rusia yang terlambat sadar mulai menyadari, bahwa dia pun tidak mau kehilangan sekutunya di Timur Tengah yang juga memiliki kekayaan yang berlimpah.  

Rusia sadar negaranya mulai dijepit oleh NATO melalui negara-negara Eropa Timur dan juga eks-Uni Soviet. Untuk itu Rusia tidak mau mengulangi kesalahan yang sama di Timur Tengah.

Tampaknya peperangan di Suriah ini akan menjadi  titik equalibrium geopolitik bagi Rusia dan dipatok sebagai harga mati.   Rusia dan Iran tidak akan membiarkan Presiden Bashar Al Assad jatuh. Perang di Suriah kemungkinan akan panjang dan berlarut.

Jika Israel mendukung NATO agar Pemerintahan Bashir al Assad jatuh, maka Iran pun memperkuat posisi Hamas di Gaza, untuk mampu memberikan perlawanan yang berarti bagi Israel.

Mengapa Israel mengakui eksistensi Hamas?
 

Kini Israel benar benar ketakutan terhadap Hamas. Israel-lah yang selalu mencap Hamas sebagai teroris dan tidak beadab. 

Sementara Israel mengkampanyekan diri sebagai orang berbudi pekerti dan taat aturan Internasional. Bagaimana jika  saat terdesak Hamas menembakkan roket non konvensional ke Israel ?. Boleh dong, kan disebut teroris. Apakah Israel membalasnya dengan nuklir ?.

Israel mulai sadar, Hamas selaku pemenang Pemilihan Umum 2006,  tidak bisa disudutkan apalagi dieliminir.  Perlahan tapi pasti militer Hamas justru jauh lebih kuat dari PLO/ Fatah yang berada di Tepi Barat.

Kabar terbaru muncul dari Wakil Menteri Luar Negeri Israel Daniel Ayalon: “ Israel would be very happy to talk to Hamas as long as it renounces terrorism and recognizes Israel’s right to exist”.

Israel sudah tidak  memiliki masalah dengan pemerintahan Presiden Mahmod Abbas di Tepi Barat   Abbas setuju mengakui eksistensi Israel, asalkan Israel dan dunia Internasional mengakui negara Palestina.

Israel dan Amerika Serikat sedang membujuk Hamas agar mau unifikasi dengan Fatah, untuk menggabungkan Gaza dan Tepi Barat menjadi sebuah negara, dengan menerima posisi Israel yang ada saat ini.  Tentu Hamas dan koleganya sulit menerima tawaran tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar