Jika ditelusuri lagi ke belakang, baru kali ini Israel langsung
menyetujui gencatan senjata dengan Hamas.
Sebelumnya Israel tidak pernah
mematuhi yang namanya gencatan senjata, walau diprakarsai oleh PBB atau
Uni-Eropa.
Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu selalu mengatakan
tidak akan pernah berunding dengan Hamas dan Jihad Islam, yang
ditudingnya sebagai teroris. Namun kali ini Netanyahu tak berkutik.
Usulan gencatan senjata yang diprakarsai oleh Mesir langsung ditelan
bulat-bulat. Gencatan senjata ini sekaligus menunjukkan pengakuan Israel
atas Hamas. Dan hal inilah yang dikritik kaum garis keras Israel atas
Benyamin Netanyahu.
Penduduk Gaza merasa heran. Biasanya Israel selalu melanggar gencatan
senjata atau menunda-nunda, namun kali ini berubah 180 derajat.
Bukan itu saja, 75 ribu pasukan Israel yang disiapkan Netanyahu untuk
melakukan serangan darat akhirnya ditarik. Biasanya pasukan darat
digunakan Netanyahu untuk menekan Hamas di saat-saat perundingan
terakhir. Misalnya dalam perang 22 hari tahun 2008. Israel menyetujui
gencatan senjata dengan syarat tetap menempatkan pos pos militer di
Gaza. Hal itu ditolak oleh Hamas, maka Israel melakukan serangan darat
besar-besaran. Ketika seluruh mediator gencatan senjata berbalik
memusuhi Israel, militer Israel dengan tenang selama satu pekan
membombardir Jalur Gaza tanpa mendapatkan halangan.
Namun kali ini Israel menerima semua syarat gencatan senjata.
Apa yang terjadi ?.
Sistem anti roket, Iron Dome yang digembor-gemborkan Israel ternyata
hanya mampu menyergap 30 % roket, yang ditembakkan Hamas dari Gaza. Hal
ini membuat masyarakat Israel menjadi ketakutan. Untuk pertama
kalinya, tidak ada lagi daerah aman yang bebas dari roket Hamas. Semua
wilayah Israel telah dijangkau oleh roket Hamas.
Selama ini Tel Aviv dan Jerusalem merupakan garis merah bagi Israel,
dalam artian jika ada pihak yang menyerang wilayah itu, Israel akan
membalasnya dengan sangat perih dan kasar.
Dalam perang di Libanon, Hizbullah masih mematuhi garis merah
tersebut. Hizbullah hanya sempat mengancam Israel, akan menembakkan
roket ke Tel Aviv, jika Israel terus menyerang ibukota Libanon, Beirut.
Israel pun mendengarkan peringatan Hizbullah , sehingga peperangan
akhirnya terkonsentrasi di Libanon Selatan.
Kini betapa terkejutnya Israel, saat roket-roket Hamas dengan
bebas menghujam wilayah Tel Aviv. Pada awalnya Israel berpikir, roket
itu akan mudah dinetralisir melalui Iron Dome, serangan udara, howitzer
dan rudal kapal laut. Namun pertahanan Hamas ternyata berkembang dengan
pesat. Roket-roket ditembakkan dari bawah tanah dengan pelindung pintu
baja buka tutup sistem hidrolik.
Mata-mata Israel juga tidak mampu mengidentifikasi dengan baik
lokasi-lokasi peluncuran roket, dengan bukti hingga hari terakhir, Hamas
terus menembakkan roket-roketnya. 30 diantaranya ditembakkan ke Tel
Aviv dan hanya 12 roket yang mampu disergap Iron Dome.
Serangan roket Hamas selama 8 hari ke Tel Aviv, membuat industri
pariwisata di kota itu, lumpuh. Para turis memilih pulang ke negeri
mereka karena takut terkena roket. Mall, pertokoan, kafe maupun
restoran sepi dari pengunjung. Akibatnya para pengusaha di Tel Aviv
menjerit dan berteriak.
Di hari ke delapan peperangan juga terjadinya serangan bom ke sebuah
bus di Tel Aviv yang menyebabkan 24 warga terluka. Serangan bom ini di
dekat Kementerian Pertahanan Israel.
Pemerintah Israel pun langsung menggelar rapat. Mereka hendak
memutuskan apakah dilakukan serangan darat, untuk menetralisir serangan
Hamas. Namun pihak intelijen melaporkan, masih ada bom yang belum
meledak di Tel Aviv dan itu berpotensi untuk terjadinya serangan bom
susulan. Saksi yang dikumpulkan Israel mengatakan, seorang perempuan
melemparkan satu tas ke dalam bus tersebut lalu lari dan terjadi
ledakan. Menurut saksi, perempuan itu, sedikitnya membawa 2 tas yang
diduga rangkaian bom dan menghilang.
Serangan itu muncul, setelah Israel salah menentukan target pengeboman yang menyebabkan satu keluarga di Gaza tewas.
Serangan Darat ?
Kembali soal rencana serangan darat ke Gaza yang dirapatkan Kabinet
dan Militer Israel di Tel Aviv. Militer Israel tidak menjamin serangan
darat akan sukses, dalam artian keselamatan pasukan Israel akan terjaga
di Gaza. Militer Israel memperkirakan Hamas telah menyiapkan sejumlah
skenario untuk merontokkan tank Israel dan menangkap serdadu mereka.
Alasannya adalah, Hamas terbukti mampu menembak jatuh pesawat
mata-mata Israel Skylait B, satu F-16 dan Helikopter Apache. Hamas
juga menembakkan tiga roket ke kapal perang Israel dari kamp pengungsi
Nusairat. Jika Hamas sudah menguasai teknologi roket 70 Km, tentu bukan
hal sulit untuk membuat ATGM berdaya jangkau 1 hingga 2 km. Jika Iran
telah mentransfer teknologi rudal fajr-5, diyakini mereka juga
mentransfer teknologi roket anti-tank dan rudal jenis lainnya.
Hal ini bisa mengulang kekalahan Israel dalam serangan daratnya ke
Libanon Selatan pada tahun 2006. Saat itu banyak tank Merkava Israel
rontok oleh rudal Hizbullah dan tentara darat Israel.
Untuk itulah, tanpa berpikir panjang Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu, langsung menyetujui gencatan senjata.
Militer Israel melakukan pengeboman sebanyak 1600 sorti dan
menewaskan 140 orang di Gaza. Itu pun sebagian adalah warga Sipil.
Artinya 1 orang di Palestina tewas setelah 12 sorti serangan. Secara
kalkulasi militer, Israel tidak mampu menetapkan targetnya secara tepat
dan dianggap gagal.
Jika perang diteruskan Israel hanya akan membuang-buang uang ditambah lagi mahalnya biaya operasional Iron Dome.
Sementara pihak Hamas telah menembakkan 1200 roket, 400 diantaranya
berhasil disergap Iron Dome. Roket itu menyebabkan 1 tentara Israel dan
4 warga sipil tewas. Serangan itu juga melukai 11 tentara dan puluhan
warga sipil.
Serangan roket ke Jerusalem dan Tel Aviv merupakan pukulan telak bagi
Israel yang memaksa militer rezim ini mengkaji ulang kalkulasi mereka.
Ketidakmampuan sistem perisai rudal Iron Dome menghadapi roket-roket
Hamas juga sangat mengejutkan Israel. Untuk itu otomatis peperangan
harus dihentikan.
Ada hal yang mengejutkan dalam peperangan ini. Iran justru
terang-terangan mengatakan mereka telah mentransfer teknologi rudal
fajr-5 ke Hamas dan Hamas yang merakitnya sendiri.
Perancis mengecam keras dan menuduh Iran telah menyelundupkan rudal
fajr-5 ke Gaza, Namun Perancis dan NATO lupa merekalah yang justru
terang-terangan memasok persenjataan ke Pemberontak di Suriah, untuk
menggulingkan Pemerintahan Bashar Al Assad.
Jatuhnya pemerintahan Presiden Bashar Al Assad sangat penting bagi
Israel, untuk mendukung rencana serangan udara mereka ke sejumlah
fasilitas militer dan nuklir Iran. Israel dan Sekutunya berharap dengan
tergulingnya Assad, para pemberontak yang telah dibantu, akan
mengizinkan pesawat pesawat Israel untuk melintasi Suriah menuju Iran,
dengan asumsi pemerintahan Irak bisa dikontrol oleh Amerika Serikat
Untuk itu Iran yang didukung Rusia, terus membantu posisi Presiden
Suriah Bashir Al Assad. Iran sadar jika pemerintahan Suriah jatuh, maka
tinggal Iran-lah yang akan “diurus” oleh Israel, Amerika dan Inggris.
Rusia yang terlambat sadar mulai menyadari, bahwa dia pun tidak mau
kehilangan sekutunya di Timur Tengah yang juga memiliki kekayaan yang
berlimpah.
Rusia sadar negaranya mulai dijepit oleh NATO melalui
negara-negara Eropa Timur dan juga eks-Uni Soviet. Untuk itu Rusia
tidak mau mengulangi kesalahan yang sama di Timur Tengah.
Tampaknya peperangan di Suriah ini akan menjadi titik equalibrium
geopolitik bagi Rusia dan dipatok sebagai harga mati. Rusia dan Iran
tidak akan membiarkan Presiden Bashar Al Assad jatuh. Perang di Suriah
kemungkinan akan panjang dan berlarut.
Jika Israel mendukung NATO agar Pemerintahan Bashir al Assad jatuh,
maka Iran pun memperkuat posisi Hamas di Gaza, untuk mampu memberikan
perlawanan yang berarti bagi Israel.
Mengapa Israel mengakui eksistensi Hamas?
Kini Israel benar benar ketakutan terhadap Hamas. Israel-lah yang
selalu mencap Hamas sebagai teroris dan tidak beadab.
Sementara Israel
mengkampanyekan diri sebagai orang berbudi pekerti dan taat aturan
Internasional. Bagaimana jika saat terdesak Hamas menembakkan roket non
konvensional ke Israel ?. Boleh dong, kan disebut teroris. Apakah
Israel membalasnya dengan nuklir ?.
Israel mulai sadar, Hamas selaku pemenang Pemilihan Umum 2006, tidak
bisa disudutkan apalagi dieliminir. Perlahan tapi pasti militer Hamas
justru jauh lebih kuat dari PLO/ Fatah yang berada di Tepi Barat.
Kabar terbaru muncul dari Wakil Menteri Luar Negeri Israel Daniel
Ayalon: “ Israel would be very happy to talk to Hamas as long as it
renounces terrorism and recognizes Israel’s right to exist”.
Israel sudah tidak memiliki masalah dengan pemerintahan Presiden
Mahmod Abbas di Tepi Barat Abbas setuju mengakui eksistensi Israel,
asalkan Israel dan dunia Internasional mengakui negara Palestina.
Israel dan Amerika Serikat sedang membujuk Hamas agar mau unifikasi
dengan Fatah, untuk menggabungkan Gaza dan Tepi Barat menjadi sebuah
negara, dengan menerima posisi Israel yang ada saat ini. Tentu Hamas
dan koleganya sulit menerima tawaran tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar