BERITA paling hangat dibidang pertahanan Indonesia kini adalah
tentang kabar hibah pesawat terbang tempur F-16 dari pemerintah Amerika
Serikat kepada Indonesia. F-16, sebagai “multirole jet fighter aircraft” adalah satu dari sedikit jenis pesawat tempur yang paling laris di dunia, karena telah membuktikan dirinya sebagai “Jet fighter aircraft” yang telah “war-proven”. Pesawat
tempur yang telah memperlihatkan unjuk kerjanya yang spektakuler pada
laga pertempuran udara dalam banyak panggung perang terbuka dimuka bumi
ini.
Pada prinsipnya, proses pengadaan pesawat tempur
yang ideal sebagai sub sistem dari alat utama sistem persenjataan
haruslah mengalir dari satu perencanaan jangka panjang yang matang dan
terpadu serta konsisten. Itu sebabnya antara lain, proses
pengadaan ditengah jalan yang muncul dari format hibah atau apapun
namanya pasti dan selalu mengundang kontroversi. Tidak
selalu buruk dan inefisiensi yang akan terjadi, tetapi peluang untuk
berhadapan dengan banyak kesulitan telah berulang kita alami.
Satu diantaranya adalah “hibah” atau “beli murah”
sebanyak 39 buah kapal perang ex Jerman Timur. Yang sangat menonjol,
disamping problema lain-lain yang terjadi adalah timbulnya berbagai
masalah dalam peng-operasi-an kapal saat digunakan oleh para personil Angkatan Laut kita. Dengan
singkat dapat disebutkan bahwa muncul masalah prinsip dan bersifat
teknis pada aspek operasional di Angkatan Laut sebagai pengguna kapal
perang.
Indonesia sebagai satu Negara yang serba terbatas,
terutama dalam sektor finansial pendukung pembangunan Angkatan Perang,
maka model “hibah” menjadi layak juga untuk dipertimbangkan. Hanya
saja kajian yang dilakukan sebelum diambil keputusan, harus benar-benar
memperhatikan berbagai aspek terkait dan terutama sekali aspek
penggunaan operasionalisasinya. Faktor efisiensi dan otorisasi penggunaan anggaran pasti menjadi penting dalam hal ini, karena “hibah”
juga akan menyangkut soal dukungan dana yang akan berpengaruh kepada
aspek kepentingan politik baik dalam maupun luar negeri Indonesia. Namun
diluar semua itu yang paling dan akan sangat dominan untuk
dipertimbangkan adalah “aspek operasional” nya, karena akan berkait langsung dengan figur dan performa dari satu sistem pertahanan Negara secara keseluruhan.
Pengoperasian satuan atau gugus atau unit tempur, yang antara lain dipagari oleh ”operation requirement”
dari satu Angkatan Perang mengandung banyak hal yang harus
dipertimbangkan masak-masak dan detil sifatnya. Dalam hal pengadaan,
lebih-lebih yang bermodel “hibah”
peralatan militer, maka kajian bidang operasi menjadi sangat penting,
dengan risiko kekeliruan sedikit saja dalam perhitungan akan berakibat
fatal. Fatal dalam konteks taktik dan teknik penggunaan sistem senjata sebagai peralatan perang. Harus dipahami sungguh-sungguh bahwa ”operation requirement”
dan semua yang berkait langsung dengan penggunaan sistem senjata dalam
peperangan, bukan sesuatu yang mudah untuk dipelajari. Hal ini tidak
dapat dipahami dalam 1 atau 2 hari atau bahkan 1 atau dua bulan saja.
Pemahaman tentang hal ini memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang
puluhan tahun lamanya.
Sekedar contoh saja hubungannya dengan pesawat F-16, buatan ”General Dynamic” dan sekarang ”Lockheed Martin”. Sebagai
pesawat yang cukup banyak dipakai oleh Angkatan Udara dari berbagai
negara, maka pesawat F-16 mengalami banyak penyempurnaan dalam tahapan
produksinya. Penyempurnaan sebagai konsekuensi logis dari
penggunaan pesawat terbang yang sukses berperan dalam berbagai misi
pertempuran udara. Agar lebih banyak lagi pemakainya, maka
pihak pabrikpun tidak ragu-ragu memperbaiki dan meningkatkan kualitas
produknya dari waktu ke waktu sesuai dengan masukan yang diterima dari
berbagai pengguna pesawat dilapangan.
Demikianlah kemudian dikenal
pesawat-pesawat F-16 dengan
berbagai variant dan juga peningkatan kemampuan mesin dan avionik serta
kerangkanya yang antara lain menggunakan kode ”Block”. Ada F-16 A/B
atau D dan juga F-16 block 10; 20; 30 dan yang terakhir block 60 yang
merupakan pesanan Uni Emirat Arab. Seri
A, B serta Block disamping menggambarkan jenis pesawat serta
peningkatan kemampuan dan penyempurnaan sistem mesin, kerangka dan radar
serta peralatan elektroniknya, juga mencerminkan misi apa yang akan
disandang oleh pesawat yang bersangkutan. Disamping
sukses sebagai pesawat dengan peran perang udara, F- 16 juga sukses
digunakan sebagai pesawat untuk ground attack, penyerang sasaran didarat
yang sangat presisi.
Disini hendak digambarkan bahwa tidak
selalu harus mengartikan pesawat block 50 itu lebih baik dari pada block
40 misalnya. Semua
masih akan tergantung pada banyak faktor kepentingan operasi lainnya
seperti akan digunakan apa F-16 tersebut ditata di skadron udara dalam
jajaran susunan tempur Angkatan Udara. Bisa untuk perang
udara dan juga bisa untuk keperluan penyerangan udara ke darat, dan
masih banyak lagi faktor lainnya dalam merumuskan kualifikasi unsur
satuan tempur yang akan terdiri dari pesawat-pesawat fighter sejenis
F-16. Pemahaman ini, sekali lagi membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
dapat menguasainya.
Sangat tidak mungkin diperoleh hanya
dari ceramah salesman nya pabrik atau lebih-lebih dari agen penjualnya.
Untuk diketahui dalam konteks pengoperasian sistem senjata (taktik dan
teknik), Angkatan Udara lebih banyak dan lebih intens mendiskusikannya
dengan Angkatan Udara pengguna utama peralatan tersebut dalam hal ini
USAF dan Angkatan Udara Negara lain pengguna F-16, misalnya dalam
kerangka forum kerjasama operasi dan latihan antar Angkatan Udara (airman to airman talk). Pihak pabrik hanya terbatas memberikan informasi yang berkait dengan aircraft development, yang berkait dengan masalah rancang bangun dari pesawat dan peralatan persenjataan, elektronik dan navigasi saja.
Oleh sebab itu, dengan berbagai
pertimbangan yang masuk akal, maka proses hibah F-16 layak dan patut
dipertimbangkan dengan catatan pelaksanaannya harus atau hanya melalui G
to G dalam hal ini mungkin melalui FMS (Foreign Military Sales).
Spesifikasi teknis harus datang dari Angkatan Udara sebagai pengguna
yang tahu betul aspek pengoperasian, pemeliharaan dari pesawat tempur
serta pengelolaan sdm nya. Keterlibatan pihak ketiga seyogyanya
dihindari, karena dipastikan mereka secara teknis tidak menguasai ”technical know-how”,
terutama dalam penggunaan operasional sebuah pesawat tempur. Pada
umumnya pihak ketiga hanya dibekali sedikit pengetahuan teknis yang
lebih menjurus pada aspek ”marketing” suatu produk yang berasal
dari pabrik pembuat atau agen penjualnya belaka. Hal ini akan sangat
berpeluang membuka pintu terjadinya inefisiensi penggunaan dana yang
sudah terbatas itu.
Untuk
mekanisme dalam pertimbangan prosedur dan penggunaan dana tentu saja
tetap menjadi hak nya institusi terkait sesuai undang-undang, tetapi
sekali lagi untuk aspek operasional penggunaan sebuah peralatan sistem
senjata serahkanlah kepada calon pemakainya dalam hal ini Angkatan
Udara.
Dengan demikian dapat
diharapkan, model hibah yang merupakan pengadaan yang muncul ditengah
jalan, tidak lah akan menjadi faktor yang memporak-porandakan rencana
jangka panjang pembangunan sistem pertahanan nasional Indonesia.