Sabtu, 27 Oktober 2012

Hibah F-16 dan Sistem Pertahanan Negara

 
BERITA paling hangat dibidang pertahanan Indonesia kini adalah tentang kabar hibah pesawat terbang tempur F-16 dari pemerintah Amerika Serikat kepada Indonesia. F-16, sebagai “multirole jet fighter aircraft” adalah satu dari sedikit jenis pesawat tempur yang paling laris di dunia, karena telah membuktikan dirinya sebagai “Jet fighter aircraft yang telah “war-proven”. Pesawat tempur yang telah memperlihatkan unjuk kerjanya yang spektakuler pada laga pertempuran udara dalam banyak panggung perang terbuka dimuka bumi ini.

Pada prinsipnya, proses pengadaan pesawat tempur yang ideal sebagai sub sistem dari alat utama sistem persenjataan haruslah mengalir dari satu perencanaan jangka panjang yang matang dan terpadu serta konsisten. Itu sebabnya antara lain, proses pengadaan ditengah jalan yang muncul dari format hibah atau apapun namanya pasti dan selalu mengundang kontroversi. Tidak selalu buruk dan inefisiensi yang akan terjadi, tetapi peluang untuk berhadapan dengan banyak kesulitan telah berulang kita alami.

Satu diantaranya adalah “hibah” atau “beli murah” sebanyak 39 buah kapal perang ex Jerman Timur. Yang sangat menonjol, disamping problema lain-lain yang terjadi adalah timbulnya berbagai masalah dalam peng-operasi-an kapal saat digunakan oleh para personil Angkatan Laut kita. Dengan singkat dapat disebutkan bahwa muncul masalah prinsip dan bersifat teknis pada aspek operasional di Angkatan Laut sebagai pengguna kapal perang.

Indonesia sebagai satu Negara yang serba terbatas, terutama dalam sektor finansial pendukung pembangunan Angkatan Perang, maka model “hibah” menjadi layak juga untuk dipertimbangkan. Hanya saja kajian yang dilakukan sebelum diambil keputusan, harus benar-benar memperhatikan berbagai aspek terkait dan terutama sekali aspek penggunaan operasionalisasinya. Faktor efisiensi dan otorisasi penggunaan anggaran pasti menjadi penting dalam hal ini, karena “hibah” juga akan menyangkut soal dukungan dana yang akan berpengaruh kepada aspek kepentingan politik baik dalam maupun luar negeri Indonesia. Namun diluar semua itu yang paling dan akan sangat dominan untuk dipertimbangkan adalah “aspek operasional” nya, karena akan berkait langsung dengan figur dan performa dari satu sistem pertahanan Negara secara keseluruhan. 

Pengoperasian satuan atau gugus atau unit tempur, yang antara lain dipagari oleh ”operation requirement” dari satu Angkatan Perang mengandung banyak hal yang harus dipertimbangkan masak-masak dan detil sifatnya. Dalam hal pengadaan, lebih-lebih yang bermodel “hibah” peralatan militer, maka kajian bidang operasi menjadi sangat penting, dengan risiko kekeliruan sedikit saja dalam perhitungan akan berakibat fatal. Fatal dalam konteks taktik dan teknik penggunaan sistem senjata sebagai peralatan perang. Harus dipahami sungguh-sungguh bahwa ”operation requirement” dan semua yang berkait langsung dengan penggunaan sistem senjata dalam peperangan, bukan sesuatu yang mudah untuk dipelajari. Hal ini tidak dapat dipahami dalam 1 atau 2 hari atau bahkan 1 atau dua bulan saja. Pemahaman tentang hal ini memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang puluhan tahun lamanya.

Sekedar contoh saja hubungannya dengan pesawat F-16, buatan ”General Dynamic” dan sekarang ”Lockheed Martin”. Sebagai pesawat yang cukup banyak dipakai oleh Angkatan Udara dari berbagai negara, maka pesawat F-16 mengalami banyak penyempurnaan dalam tahapan produksinya. Penyempurnaan sebagai konsekuensi logis dari penggunaan pesawat terbang yang sukses berperan dalam berbagai misi pertempuran udara. Agar lebih banyak lagi pemakainya, maka pihak pabrikpun tidak ragu-ragu memperbaiki dan meningkatkan kualitas produknya dari waktu ke waktu sesuai dengan masukan yang diterima dari berbagai pengguna pesawat dilapangan.

Demikianlah kemudian dikenal pesawat-pesawat F-16 dengan berbagai variant dan juga peningkatan kemampuan mesin dan avionik serta kerangkanya yang antara lain menggunakan kode ”Block”. Ada F-16 A/B atau D dan juga F-16 block 10; 20; 30 dan yang terakhir block 60 yang merupakan pesanan Uni Emirat Arab. Seri A, B serta Block disamping menggambarkan jenis pesawat serta peningkatan kemampuan dan penyempurnaan sistem mesin, kerangka dan radar serta peralatan elektroniknya, juga mencerminkan misi apa yang akan disandang oleh pesawat yang bersangkutan. Disamping sukses sebagai pesawat dengan peran perang udara, F- 16 juga sukses digunakan sebagai pesawat untuk ground attack, penyerang sasaran didarat yang sangat presisi.

Disini hendak digambarkan bahwa tidak selalu harus mengartikan pesawat block 50 itu lebih baik dari pada block 40 misalnya. Semua masih akan tergantung pada banyak faktor kepentingan operasi lainnya seperti akan digunakan apa F-16 tersebut ditata di skadron udara dalam jajaran susunan tempur Angkatan Udara. Bisa untuk perang udara dan juga bisa untuk keperluan penyerangan udara ke darat, dan masih banyak lagi faktor lainnya dalam merumuskan kualifikasi unsur satuan tempur yang akan terdiri dari pesawat-pesawat fighter sejenis F-16. Pemahaman ini, sekali lagi membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat menguasainya.

Sangat tidak mungkin diperoleh hanya dari ceramah salesman nya pabrik atau lebih-lebih dari agen penjualnya. Untuk diketahui dalam konteks pengoperasian sistem senjata (taktik dan teknik), Angkatan Udara lebih banyak dan lebih intens mendiskusikannya dengan Angkatan Udara pengguna utama peralatan tersebut dalam hal ini USAF dan Angkatan Udara Negara lain pengguna F-16, misalnya dalam kerangka forum kerjasama operasi dan latihan antar Angkatan Udara (airman to airman talk). Pihak pabrik hanya terbatas memberikan informasi yang berkait dengan aircraft development, yang berkait dengan masalah rancang bangun dari pesawat dan peralatan persenjataan, elektronik dan navigasi saja.

Oleh sebab itu, dengan berbagai pertimbangan yang masuk akal, maka proses hibah F-16 layak dan patut dipertimbangkan dengan catatan pelaksanaannya harus atau hanya melalui G to G dalam hal ini mungkin melalui FMS (Foreign Military Sales). Spesifikasi teknis harus datang dari Angkatan Udara sebagai pengguna yang tahu betul aspek pengoperasian, pemeliharaan dari pesawat tempur serta pengelolaan sdm nya. Keterlibatan pihak ketiga seyogyanya dihindari, karena dipastikan mereka secara teknis tidak menguasai ”technical know-how”, terutama dalam penggunaan operasional sebuah pesawat tempur. Pada umumnya pihak ketiga hanya dibekali sedikit pengetahuan teknis yang lebih menjurus pada aspek ”marketing” suatu produk yang berasal dari pabrik pembuat atau agen penjualnya belaka. Hal ini akan sangat berpeluang membuka pintu terjadinya inefisiensi penggunaan dana yang sudah terbatas itu.

Untuk mekanisme dalam pertimbangan prosedur dan penggunaan dana tentu saja tetap menjadi hak nya institusi terkait sesuai undang-undang, tetapi sekali lagi untuk aspek operasional penggunaan sebuah peralatan sistem senjata serahkanlah kepada calon pemakainya dalam hal ini Angkatan Udara.

Dengan demikian dapat diharapkan, model hibah yang merupakan pengadaan yang muncul ditengah jalan, tidak lah akan menjadi faktor yang memporak-porandakan rencana jangka panjang pembangunan sistem pertahanan nasional Indonesia.